Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Teori Kerja sama Perdagangan Internasional

Teori Kerja sama Perdagangan Internasional

Satu perdebatan utama dalam kerja sama perdagangan internasional berkisar pada pertanyaan apakah suatu negara sebaiknya mengikuti kebijakan perdagangan bebas ataukah proteksionis. Suatu negara secara teoritis dapat memilih kebijakan perdagangan “laissez faire” sedemikian rupa sehingga tukar-menukar komoditi antar negara sama sekali tidak terhambat. Kondisi ini dikenal dengan perdagangan bebas (free trade). Atau, negara tersebut menciptakan segala macam aturan yang mematikan semua insentif untuk melakukan perdagangan antar negara. Ini disebut dengan kondisi autarki (autarky). Tetapi, dalam prakteknya tidak ada negara di dunia yang menempuh kebijakan-kebijakan ekstrem tersebut. Kebijakan yang mereka pilih berada dalam spektrum di antara keduanya. Dalam spektrum tersebut, langkah-langkah yang ditempuh suatu negara menuju kondisi perdagangan bebas disebut dengan liberalisasi perdagangan. Upaya proteksionis sebaliknya merujuk pada langlcah-langkah suatu negara untuk melindungi usaha domestik dari tekanan persaingan internasional. Argumen-argumen yang diusung baik oleh pendukung kebijakan perdagangan bebas maupun proteksionis dapat ditemukan dalam teori perdagangan. Pendukung kebijakan perdagangan bebas menekankan temuan (premise) teori bahwa perdagangan bebas akan meningkatkan efisiensi ekonomi dan karenanya menaikkan kesejahteraan nasional. Pendukung kebijakan proteksionis mengedepankan temuan lain yang menyatakan bahwa meski sebagian kelompok masyarakat memetik keuntungan dari perdagangan bebas, sebagian lain bisa menderita kerugian. Jumlah mereka yang merugi mungkin signifikan”. Pendukung kebijakan proteksionis juga menyuarakan temuan teori bahwa kebijakan proteksionis pada kondisi tertentu bisa mendatangkan keuntungan bagi negara”.
Perdebatan pro dan kontra perdagangan bebas ini tampaknya belum akan segera berakhir. Hanya saja, momentum liberalisasi perdagangan akhir-akhir ini bertambah kuat. Kisah sukses ekonomi China yang membuka diri terhadap ekonomi (perdagangan) dunia sejak akhir tahun 1970-an, bergabung dalam kerja sama liberalisasi perdagangan multilateral WTO di tahun 2001, serta aktif dalam sejumlah kerja sama liberalisasi perdagangan bilateral dan regional membuka mata banyak negara di dunia akan besarnya manfaat yang bisa dipetik dari perdagangan bebas.
Pengalaman China merupakan contoh nyata bagaimana suatu negara pada dasarnya dapat melakukan upaya liberalisasi perdagangan secara unilateral atau pun melalui kerja sama plurilateral (bilateral, regional, dan multilateral). Namun upaya liberalisasi perdagangan secara unilateral dalam banyak hal kurang mampu mendatangkan hasil yang diharapkan. It takes two to tango. Kecuali jika negara mitra dagang melakukan langkah liberalisasi yang sama, langkah liberalisasi secara unilateral ini rentan “dimanfaatkan” oleh negara mitra dagang yang proteksionis atas beban kerugian negara yang melakukan liberalisasi15. Perang dagang sangat rnungkin muncul bila pihak yang dirugikan berupaya menekan kerugian dengan melakukan langkah proteksionis balasan. Hasil akhir sub-optimal bagi kedua belah pihak menjadi ujung dari perang dagang. Dari sini muncul pemikiran negara-negara untuk menjalin kerja sama perdagangan antar negara guna meraih hasil yang lebih optimal. Negara-negara tersebut sepakat untuk melakukan upaya liberalisasi perdagangan secara bersama-sama (plurilateral), non-diskriminatif, dan timbal balik (resiprokal).
WTO dengan keanggotaan lebih dari 140 negara dewasa ini merupakan bentuk kerja sama liberalisasi perdagangan dalam tataran multilateral, bersifat non-diskriminasi, dan resiprokal. Namun, oleh beberapa sebab yang akan dijelaskan pada bab lain dalam buku ini, upaya liberalisasi perdagangan di bawah payung WTO hingga kini berjalan lamban. Sebagian sebagai reaksi atas perkembangan ini, kerja sama liberalisasi perdagangan secara bilateral dan regional dalam beberapa tahun terakhir bermunculan seperti jamur di musim hujan. Isu kritis dalam hal ini sekarang adalah apakah kerja sama-kerja sama perdagangan bilateral dan regional dimaksud akan menjadi penghambat (stumbling block) atau justru sebaliknya pendorong (building block) bagi terciptanya perdagangan bebas dunia seperti yang dicita-citakan dari pembentukan WTO.
Perlu dicatat di sini bahwa kerja sama liberalisasi perdagangan tidal( hanya menyangkut komoditi barang (goods) saja. Kontribusi perdagangan komoditi jasa (services) dalam perdagangan dunia dari waktu ke waktu semakin besar. Peran dan kontribusinya ke depan diyakini semakin strategis sciring dengan kemajuan teknologi informasi dan globalisasi ekonomi dunia. Liberalisasi perdagangan jasa juga semakin intensif diupayakan di berbagai forum kerja sama perdagangan. Namun, perdagangan jasa dan agenda-agenda liberalisasi dalam bidang ini lebih didominasi hingga kini oleh kepentingan negara-negara maju. Negara-negara berkembang umumnya masih menjadi obyek atau pengikut (follower). Bila tidak ingin semakin tertinggal, negara-negara berkembang harus segera berbenah17.
Bab ini disusun sebagai landasan teori untuk memahami kerja sama perdagangan internasional. Tiga pertanyaan utama membantu kita dalam membangun pemahaman dimaksud, yakni (i) mengapa perdagangan internasional terjadi antar negara, (ii) mengapa dan bagaimana negara yang terlibat dalam perdagangan internasional bekerja sama dengan negara lain, dan (iii) hal-hal teknis apa yang terkait atau pun diperlukan dalam mendukung efektivitas kerja sama perdagangan. Selain menjawab ketiga pertanyaan utama tersebut, secara eksplisit maupun implisit, sepanjang bab ini juga dikembangkan argumenargumen baik yang mendukung kebijakan perdagangan bebas maupun proteksionis seperti tersebut sebelumnya.

Bab landasan teori kerja sama perdagangan internasional ini akan dibagi dalam enam bagian. Setelah bagian pendahuluan, bagian kedua mengupas tentang prinsip-prinsip dasar perdagangan internasional, khususnya alasan-alasan mengapa negara terlibat dalam perdagangan internasional. Dua teori klasik perdagangan, yakni teori keunggulan komparatif (comparative advantage) Ricardo dan teori faktor-proporsi (factor-proportion) Heckscher-Ohlin, menjadi perhatian utama kita. Bagian ketiga diarahkan untuk mengulas dampak kesejahteraan (welfare effect) dari penerapan instrumen kebijakan yang ditempuh pemerintah suatu negara di bidang perdagangan internasional. Analisa partial equilibrium menjadi pendekatan utama. Di sini kita bisa melihat bahwa langkah proteksionis yang diambil oleh pemerintah suatu negara, misalnya dalam bentuk pengenaan tarif impor, tidak selamanya merugikan negara tersebut.
Bagian keempat mengantarkan kita pada pendalaman tentang kerja sama perdagangan itu sendiri. Dengan pendckatan game theory sederhana akan dijelaskan mengapa kerja sama perdagangan internasional dapat mendatangkan keuntungan yang lebih besar bagi negaranegara yang terlibat daripada pilihan melakukan perang dagang. Di sini juga akan dibahas sejumlah prinsip dasar yang terkait atau pun diperlukan dalam mendukung efektivitas kerja sama perdagangan. Bagian kelima bab ini menyoroti Teori Diamond yang dikembangkan oleh Michael E. Porter (1998) untuk memahami mengapa (perusahaanperusahaan) suatu negara mempunyai daya kompetisi yang lebih baik daripada negara lain’s. Pemahaman tentang teori ini, misalnya, membantu kita untuk mengevaluasi keunggulan dan kerugian kompetitif yang dipunyai perusahaan-perusahaan Indonesia, serta merumuskan strategi apa saja yang diperlukan untuk memperbaiki daya kompetisi tersebut. Bagian keenam dan terakhir dikhususkan untuk ulasan tentang perdagangan jasa dan upaya liberalisasi dalam bidang ini.
Pustaka
Kerja sama perdagangan internasional: peluang dan tantangan bagi Indonesia
Sjamsul Arifin, Dian Ediana Rae, Charles P. R.. Joseph

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar