Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Intisari Pelajaran Ekonomi

Intisari Pelajaran Ekonomi


Disiplin ekonomi, dari semua ilmu pengetahuan yang dikenal manusia, adalah yang paling sarat akan kerancuan pikiran (fallacies). Hal ini bukan karena faktor kebetulan belaka. Subyek kajiannya memang sudah cukup rumit; namun, kerumitannya menjadi berlipat-lipat ribuan kali oleh karena satu faktor khusus yang terus-menerus menderanya–yang tidak terlalu berpengaruh dalam disiplin lain seperti fisika, matematika, atau kedokteran: yaitu kepentingan-kepentingan pribadi yang hanya ingin menang sendiri.
Sementara kepentingan ekonomi suatu kelompok dapat bersifat identik dengan kepentingan-kepentingan sekelompok lainnya, ada kalanya kepentingan satu kelompok bersifat antagonistik terhadap kepentingan-kepentingan kelompok lain, sebagaimana akan kita lihat nanti. Ada kebijakan publik yang dalam jangka panjang akan menguntungkan semua kelompok; ada pula yang akan menguntungkan sekelompok saja tetapi merugikan kelompok-kelompok lain. Kelompok yang diuntungkan, yang berkepentingan langsung dengan kebijakan demikian, biasanya akan berusaha menjadi meyakinkan. Kelompok tersebut dapat membeli dedikasi pakar-pakar terbaik untuk menekankan manfaat kebijakan tersebut. Kelompok ini mungkin akan berhasil meyakinkan khalayak mengenai manfaat kebijakan itu, atau berhasil membingungkan publik sedemikian rupa, sehingga akibat-akibat kebijakan tersebut menjadi hampir mustahil dipahami melalui pemikiran yang jernih.
Selain faktor kepentingan pribadi, terdapat pula faktor utama lain yang menyebabkan merebaknya berbagai kerancuan baru dalam pemahaman ekonomi sehari-hari. Faktor tersebut adalah kecenderungan “keukeuh” manusia untuk hanya melihat dampak langsung atau akibat-seketika dari suatu kebijakan, atau kecenderungan untuk mengkaji konsekuensi-konsekuensinya terhadap sebagian kelompok saja tetapi mengabaikan berbagai akibat jangka-panjangnya bagi kelompok-kelompok lain. Dalam hal ini, kekeliruannya berupa pengabaian konskuensi-konsekuensi sekunder.
Di sinilah terletak perbedaan antara ilmu ekonomi yang baik dan yang buruk. Ekonom yang buruk hanya melihat apa yang tampak oleh mata; ekonom yang baik melihat jauh ke depan. Ekonom yang buruk hanya melihat konsekuensi langsung dari usulan kebijakan, sementara ekonom yang baik juga memandang jauh hingga ke akibat-akibat tak langsungnya. Ekonom yang buruk hanya melihat bagaimana kebijakan telah atau akan berdampak pada kelompok tertentu; ekonom yang baik mengkaji bagaimana kebijakan tersebut berdampak pada seluruh kelompok.
Sepintas lalu, perbedaan tersebut tampak sangat jelas. Segala wanti-wanti agar kita melihat dampak kebijakan secara utuh terhadap semua orang tampaknya perkara yang mudah. Bukankah semua orang sudah tahu, dalam hidup sehari-hari, bahwa segala bentuk penghamburan memang senanitasa mengasikkan ketika sedang berlangsung, tetapi akan membawa efek bencana pada akhirnya? Bukanlah semua anak kecil juga mengetahui bahwa jika ia terlalu banyak makan permen, giginya akan sakit? Dan bahwa pemabuk akan terbangun keesokan harinya dengan persoalan pencernaan atau kepala pusing? Bukankah orang yang dipsomaniac juga memahami bahwa ia berisiko merusak livernya dan hidupnya? Bukanlah setiap Don Juan tahu bahwa ia mengekspos dirinya pada berbagai risiko, dari pemerasan hingga penyakit kelamin? Kembali ke ranah ekonomi–namun masih tetap pribadi, bukankan para pemalas dan penghambur harta juga mengetahui, bahkan di masa jaya mereka, bahwa mereka tengah menuju masa depan yang penuh utang dan kemiskinan?
Namun demikian, begitu memasuki ruang ekonomi publik, kebenaran-kebenaran dasar di atas sepertinya terlupakan. Ada orang-orang yang dianggap sebagai ekonom cemerlang, yang memandang rendah pentingnya menabung dan merekomendasikan pemborosan secara nasional sebagai cara untuk menyelamatkan perekonomian nasional; dan ketika ada yang mengingatkannya bagaimana nanti konsekuensi ke depan, ia menjawab ringan saja, “Dalam jangka panjang, kita semua akan mati.” Ibarat seorang anak kecil yang masa bodoh ketika dinasihati bapaknya. Tapi begitulah pernyataan ini diterima sebagai epigram kearifan yang mematikan.
Tragedinya adalah, sebaliknya, kita semua saat ini tengah menjalani akibat dari konsekuensi jangka panjang dari berbagai kebijakan masa lalu, baik yang baru diambil maupun yang telah lama ditempuh. Hari ini adalah hari esok yang oleh ekonom sesat disarankan untuk diabaikan.
Konsekuensi jangka panjang dari kebijakan ekonomi mungkin baru akan dirasakan beberapa bulan kemudian; sementara berbagai akibat dari kebijakan-kebijakan lain mungkin baru akan tampak setelah beberapa tahun. Ada pula kebijakan yang akan berdampak beberapa dasawarsa kemudian. Konsekuensi jangka panjang dari kebijakan apapun yang diambil merupakan suatu keniscayaan. Ibarat anak ayam akan menetas dari dalam telur ayam, atau bunga akan dihasilkan dari benih.
Maka, dari sudut pandang ini, keseluruhan ilmu ekonomi dapat disarikan dalam satu pelajaran, dan inti pelajarannya dapat dinyatakan dalam satu kalimat. Seni dalam kajian ekonomi terletak pada cara kita melihat akibat-akibat dari setiap tindakan atau kebijakan kita, bukan saja akibat-akibat langsung dari tindakan atau kebijakan tersebut, melainkan juga efek-efek jangka panjangnya; dan tidak saja bagi satu kelompok tertentu, melainkan bagi semua kalangan.
(Dicuplik dari buku Economics in One Lesson, karya Henry Hazlitt; Hak Cipta terjemahan oleh Akaldankehendak.com, 2008)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar